SMK FARMASI SURABAYA
SEJARAH
SMK FARMASI SURABAYA berdiri sejak tahun 1971, dahulu dikenal sebagai Sekolah Asisten Apoteker (SAA). Dengan adanya perkembangan Kurikulum maka mulai tahun 1978 sebutan SAA berubah menjadi Sekolah Menengah Farmasi (SMF) dan berkembang menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sampai saat ini telah meluluskan 3624 Asisten Tenaga Kesehatan.
Visi :
Menjadi SMK FARMASI Unggulan Pilihan Masyarakat.
Misi :
Mendidik siswa Santun, Cakap, Terampil dan Mandiri
PROGRAM KEAHLIAN
Farmasi – A
SARANA DAN PRASARANA
Ruang Pembelajaran Umum
Ruang Kelas
Ruang Lab. Kimia
Ruang Lab. Bahasa
Ruang Lab. Komputer
Ruang Perpustakaan
Ruang Khusus (Praktik)
R. Praktek Farmasetika
R. Praktek Farmakognosi
R. Praktek Simulasi / TUK
Ruang Penunjang
Ruang Kepala Sekolah & Wakil
Ruang Guru 1
Ruang Guru 2
Ruang Pelayanan Administrasi (TU)
BP/BK
Ruang Osis
Ruang Pramuka
Koperasi
UKS
Ruang Ibadah
Ruang Bersama (Aula)
Ruang Kantin Sekolah
Ruang Toilet
Ruang Gudang
Ruang Penjaga Sekolah
Ruang Unit Produksi
Alamat : Jl. Kapasari No.3-5, Kapasari, Genteng, Kota SBY, Jawa Timur 60273
Email : smkfarmasi_surabaya@yahoo.co.id
Telp : (031) 3710619
Akreditasi : A
Sejarah tentang Demokrasi Terpimpin
Rabu, 30 Januari 2019
Kamis, 20 September 2018
Perkembangan Demokrasi Terpimpin
Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan ekonomi
terpimpin, sebagai awal berlakunya herorderingekonomi. Dimana alat-alat
produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai oleh
negara atau minimal di bawah pengawasan negara. Dengan demikian peranan
pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin
menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan
kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi.
Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya
ditempatkan sebagai masalah strategis nasional.
Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa demokrasi
liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah
yang dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional
(Depernas) dan melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya
Rp500 dan Rp1000 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10%
saja.Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus
1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang.
Tugas dewan ini menyusun overall planningyang meliputi bidang ekonomi,
kultural dan mental. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno
memberikan pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya memberikan
isi kepada proklamasi melalui grand strategy,yaitu perencanaan
overalldan hubungan pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin.
Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan
nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan
mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.
Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah,
rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan
nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan
Semesta dan Berencana terdiri atas Blueprint tripola, yang meliputi
pola proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan
pembangunan.
Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama dibuat
untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede. Penasbede
ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960
tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 1 Januari 1961.
Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno
sendiri. Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan jangka
panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun daerah, serta mengawasi
laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai Mandataris
untuk MPRS.
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25
Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi
banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan
perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp500
dan Rp1000 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu
diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Kebijakan ini diikuti dengan
kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang nilainya di
atas Rp25.000 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan
bahwa bagian uang lembaran Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku harus
ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100 dan Rp50
sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan
pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan
rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi
ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda
dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini
mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena
dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan
Yugoslavia.
Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah membentuk
Panitia 13. Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi, namun
juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah
Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini
menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon)
sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan
Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri dari beberapa tahap;
Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat
nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan
kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu
tahap ekonomi sosialis. Beberapa peraturannya merupakan upaya
mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri
serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi.
Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik
yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang
menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam
penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas
peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh
PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah kepada kaum imperialis.Presiden
Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada
bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada
konfrontasi dengan Malaysia.
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap
tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang
memadai. Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut
adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis
dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas),
pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk
Asian Games IV dan Games Of the New Emerging Forces (Ganefo).
Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah berusaha
mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus
dibayar kembali setelah satu atau dua tahun. Menteri Bank Sentral Yusuf
Muda dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai deferedpaymentkhusus
untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan
pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas
kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar. Perusahaan atau
perseorangan itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang
sudah ditetapkan. Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno
tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini
digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik
atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.
Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan kenaikan
barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah
mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1000 (uang lama)
diganti dengan Rp1 (uang baru). Tindakan penggantian uang lama dengan
uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang
mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan
aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
KESIMPULAN
- Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain diwarnai dengan tampilnya dua kekuatan politik di Indonesia yang saling bersaing, yaitu PKI dengan Angkatan Darat.
- Pada masa Demokrasi Terpimpin pula, Indonesia melakukan operasi militer untuk membebaskan Papua dari penjajahan Belanda (Trikora). Selain itu, konfrontasi dengan Malaysia juga terjadi (Dwikora).
- Kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa ini antara lain berupa pembentukan Dewan Perancang Nasional dan Deklarasi Ekonomi, serta dilakukan Devaluasi Mata Uang. Proyek Mercusuar berupa pembangunan Monas, kompleks olahraga Senayan, Pemukiman Kebayoran juga berlangsung.
Kondisi Sosial Budaya Saat Demokrasi Terpimpin
Kondisi Sosial Budaya Saat Demokrasi Terpimpin
Larangan pedagang asing di luar ibukota daerah
Dalam bidang sosial,
pada masa Demokrasi Terpimpin pernah terjadi konflik antar pedagang
asing, terutama Cina. Pada 1 Januari 1960, para pedagang asing dilarang
berdagang di pedesaan. Akibatnya, banyak di antara mereka yang
dipindahkan ke kota. Atas kebijakan tersebut pemerintah di Beijing
memberikan reaksi keras terhadap usaha tentara Indonesia melarang warga
negara asing (etnis Cina) bergerak dalam bidang usaha eceran diluar
kota-kota besar.
2. Kerusuhan di Jakarta
Pada masa Konfrontasi
Indonesia-Malaysia, keadaan sosial Indonesia mulai kacau. Kedutaan besar
Inggris dan 21 rumah stafnya dibakar habis di Jakarta. Sebagai balasan,
kedutaan besar Indonesia di Malaysia juga mengalami kerusakan. Hal ini
berujung pada pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan
Singapura.

3. Konflik Lekra dengan Manikebu
Dalam bidang
kebudayaan, juga terdapat konflik Lekra dan Manikebu. Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) kelompok pendukung ajaran Nasakom sementara Manikebu
(Manifesto Kebudayaan) adalah sekelompok cendekiawan yang anti dengan
ajaran tersebut. Kelompok Manikebu mendukung Pancasila, namun tidak
mendukung ajaran Nasakom. Manikebu tidak ingin kebudayaan nasional
didominasi ideologi tertentu. Manikebu kemudian dilarang oleh pemerintah
RI karena dianggap menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.
Tokoh-tokoh dalam Manikebu antara lain H.B. Jassin dan Taufiq Ismail.
4. Pelarangan musik dan tarian ala Barat
Squad, sekarang kamu tentu bisa dengar berbagai musik dan menarikan berbagai tarian dengan bebas, ‘kan?
Berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin, segala aspek kehidupan
masyarakat berada di bawah dominasi politik. Bahkan, kelompok seniman
Koes Bersaudara (Koes Plus) juga pernah ditahan oleh pihak Kejaksaan
karena dianggap memainkan musik yang kebarat-baratan. Melalui
pidato-pidatonya, Presiden Soekarno mengecam kebudayaan Barat berupa
musik “rock and roll”, dansa ala “cha-cha”, musik pop.
Hidup di masa sekarang
tentunya berbeda dengan kehidupan Indonesia di masa demokrasi
terpimpin, ya. Jika di masa sekarang kita bisa hidup bebas, di masa itu
pemerintah hampir “memasuki” semua aspek kehidupan.
Perkembangan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Sebelumnya negara Indonesia tidak menggunakan sistem demokras terpimpin.
Namun karena beberapa hal membuat bangsa Indonesia mengubah sistem
demokrasinya menjadi demokrasi terpimpin. Dengan penggunaan demokrasi
ini membuat sistem perekonomian Indonesia menjadi terpimpin. Maka dari
itu perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin merupakan bagian dari
sistem demokrasi yang digunakan. Demokrasi terpimpin ialah salah satu
sistem demokrasi Indonesia yang keputusan maupun pemikirannya berasal
dari seorang raja. Dibawah ini terdapat beberapa upaya untuk
mengembangkan ekonomi Indonesia.
Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin yang pertama ialah membentuk badan perencana pembangunan nasional. Pada tanggal 15 Agustus 1959 didirikan Dewan Perancang Nasional atau Depernas untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan kekuasaan Kabinet Karya. Depernas memiliki anggota sebanyak 50 orang dengan ketuanya ialah Moh. Yamin. Organisasi ini memiliki beberapa tugas seperti melakukan penilaian dalam menyelenggarakan pembangunan dan melakukan persiapan terencana mengenai rancangan UU pembangunan nasional.
Dalam perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin dapat mencapai Rancangan Dasar Undang Undang Pembangunan Nasional yang bersifat sementara berencana dalam kurun waktu satu tahun. Pada tahap ini berlangsung untuk tahun 1961 sampai 1969 melalui persetujuan MPRS dengan dikeluarkannya Tap MPRS No. 1/MPRS/1960 pada tanggal 26 Juli 1960. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1961 mulai diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dengan pembentukan organisasi ini membuat penyelesaian masalah menjadi lancar dalam hal pembangunan proyek industri maupun perencanaan prasarana. Depernas mengalami perubahan nama menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional atau Bappenas pada tahun 1963. Namun sekarang dipimin oleh Presiden Soekarno sendiri.
Pemotongan Nilai Uang
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin selanjutnya ialah melaksanakan pemotongan nilai uang. Berdasarkan Perpu No. 2/1959 (diberlakukan tanggal 25 Agustus 1959) merupakan dasar pemerintah dalam melakukan kebijakan sanering. Sanering tersebut memiliki beberapa tugas seperti mengurangi jumlah uang yang telah beredar dalam masyarakat, melakukan peningkatan nilai rupiah dengan tujuan memakmurkan rakyat kecil, dan melakukan pembendungan dalam hal inflasi yang tinggi. Berdasarkan upaya ini, pihak pemerintah mengumumkan hasil pemotongan nilai uang yang berupa:
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin yang pertama ialah membentuk badan perencana pembangunan nasional. Pada tanggal 15 Agustus 1959 didirikan Dewan Perancang Nasional atau Depernas untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan kekuasaan Kabinet Karya. Depernas memiliki anggota sebanyak 50 orang dengan ketuanya ialah Moh. Yamin. Organisasi ini memiliki beberapa tugas seperti melakukan penilaian dalam menyelenggarakan pembangunan dan melakukan persiapan terencana mengenai rancangan UU pembangunan nasional.
Dalam perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin dapat mencapai Rancangan Dasar Undang Undang Pembangunan Nasional yang bersifat sementara berencana dalam kurun waktu satu tahun. Pada tahap ini berlangsung untuk tahun 1961 sampai 1969 melalui persetujuan MPRS dengan dikeluarkannya Tap MPRS No. 1/MPRS/1960 pada tanggal 26 Juli 1960. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1961 mulai diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dengan pembentukan organisasi ini membuat penyelesaian masalah menjadi lancar dalam hal pembangunan proyek industri maupun perencanaan prasarana. Depernas mengalami perubahan nama menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional atau Bappenas pada tahun 1963. Namun sekarang dipimin oleh Presiden Soekarno sendiri.
Pemotongan Nilai Uang
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin selanjutnya ialah melaksanakan pemotongan nilai uang. Berdasarkan Perpu No. 2/1959 (diberlakukan tanggal 25 Agustus 1959) merupakan dasar pemerintah dalam melakukan kebijakan sanering. Sanering tersebut memiliki beberapa tugas seperti mengurangi jumlah uang yang telah beredar dalam masyarakat, melakukan peningkatan nilai rupiah dengan tujuan memakmurkan rakyat kecil, dan melakukan pembendungan dalam hal inflasi yang tinggi. Berdasarkan upaya ini, pihak pemerintah mengumumkan hasil pemotongan nilai uang yang berupa:
- Uang kertas pecahan yang memiliki nilai Rp 500 diubah menjadi Rp 50.
- Uang kertas pecahan yang memiliki nilai Rp 1000 diubah menjadi Rp 100.
- Membekukan seluruh simpanan bank yang berjumlah lebih dari Rp 25.000.
Baca juga : Ciri Ciri, Kelebihan dan Kelemahan Pemerintahan Presidensial
Upaya pemerintah ini tidak dapat mengubah perkembangan ekonomi masa
demokrasi terpimpin menjadi lebih baik. Bahkan upaya tersebut tidak bisa
mengurangi nilai kemerosotan ekonomi yang terjadi. Hal tersebut
dikarenakan tidak semua pengusaha di negara Indonesia mematuhi ketentuan
itu. Walaupun nilai keuangan sudah diturunkan tetap saja rakyat tidak
dapat membeli sembako bahkan harga murah sekalipun karena mereka tidak
mempunyai uang. Kemiskinan tersebut disebabkan oleh :
- Pengubahan kebijakan keuangan menjadi Perpu No. 6 Tahun 1959 dengan ketentuan nilai uang lembaran Rp 1000 maupun Rp 500 wajib untuk ditukarkan ke bank dengan nilai uang Rp 100 maupun Rp 50 sebelum tanggal 1 Januari 1960.
- Pada tahun 1958 perusahaan dikuasai oleh Belanda dengan tidak disertai pengalaman dan manajemen tenaga kerja yang handal.
- Kegiatan ekspor mengalami penurunan sehingga penghasilan negara juga berkurang. Hal ini disebabkan oleh gangguan keamanan dalam mengatasi pergolakan masing masing daerah.
- Melakukan usaha pembebasan Irian Barat dengan biaya yang cukup banyak dalam menyelenggarakan Asian Games IV tahun 1962.
Konsep Djuanda
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin selanjutnya ialah
melaksanakan konsep djuanda. Pemerintah mulai memikirkan rakyat dengan
melakukan usaha pembebasan Irian Barat dan penyelesaian kasus DI Jawa
Barat dengan cara rehabilitasi ekonomi. Pemikiran tersebut mulai
direalisasikan setelah keamanan nasional mulai membaik dan pulih
kembali. Sebelumnya konsep ini diberi nama konsep rehabilitasi ekonomi
yang diketuai oleh Menteri Pertama Ir Djuanda. Untuk hasil dari konsep
tersebut diberi nama Konsep Djuanda. Sebelum terbitnya konsep ini
terdapat beberapa kritikan tajam dari PKI sehingga membuat konsep
tersebut mati. PKI menganggap konsep Djuanda terdapat kaitannya dengan
pelibatan negara Amerika Serikat, Yugoslavia, dan negara revisionis.
Deklarasi Ekonomi
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin selanjutnya ialah
melaksanakan deklarasi ekonomi. Deklarasi ekonomi atau Dekon dibentuk
pada tanggal 28 Maret 1963 yang bertempat di Jakarta, dengan maksud
menghasilkan ekonomi nasional yang bebas imperialisme, memiliki sistem
ekonomi yang bedikari dan memiliki sifat demokratis. Dalam deklarasi
tersebut disampaikan oleh Presiden Soekarno. Dekon merupakan kondep
dasar dalam melakukan pengembangan ekonomi terpimpin di Indonesia. Dekon
tersebut memiliki beberapa konsep seperti berusaha untuk menghasilkan
keadaan ekonomi nasional yang demokratis dan bersih dari sifat
kolonialisme maupun imperialisme, selanjutnya diikuti dengan konsep
ekonomi sosial. Didalamnya terdapat peraturan yang memiliki strategi
mengambil modal dari luar negeri, memberhentikan subsidi dan
merealisasikan ongkos produksi.
Peraturan peraturan Dekon tersebut memiliki maksud untuk melaksanakan
perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin. Namun didalamnya terdapat
campur tangan dari pihak politik. Organisasi ini ditolak oleh PKI
walaupun Aidit telah terlibat dalam penyusunannya. PKI tidak segan segan
menghantam empat belas peraturan yang terdapat dalam Dekon. Bahkan PKI
juga menuduh Djuanda melakukan penyerahan diri terhadap pihak
imperialis. Akhirnya peraturan tersebut sengaja ditunda oleh Presiden
Soekarno sampai bulan September 1963. Penundaan tersebut disertai alasan
untuk lebih berkonsentrasi dalam hal peyelesaian konfrontasi dengan
pihak Malaysia.
Baca juga : Bentuk Bentuk Interaksi Sosial Berserta Penjelasannya
Kenaikan Laju Inflasi
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin yang terakhir ialah
melaksanakan kenaikan laju inflasi. Pendapatan negara yang tidak memadai
disertai anggaran belanja negara yang meningkat membuat kondisi ekonomi
menjadi lebih buruk. Namun Presiden Soekarno tetap berpendiri pada
penghimpunan dana revolusi meskipun devisa memiliki cadangan yang
menipis. Dana yang diterapkan oleh presiden berguna untuk biaya proyek
mercusuar atau prestise politik dengan melakukan pengorbanan terhadap
ekonomi dalam negeri. Peningkatan laju inflasi di dasari oleh :
- Pemerosotan nilai mata uang rupiah.
- Masalah masalah negara tidak dapat diatasi dengan pinjaman dari luar negeri.
- Pemerosotan penghasilan devisa negara dan penghasilan lainnya.
- Anggaran belanja negara semakin mengalami defisit besar.
- Tidak terdapat pengaruh manajemen perusahaan serta penertiban administrasi untuk menyeimbangkan keuangan.
- Gagalnya upaya menyalurkan kredit baru dalam menyejahterakan rakyat.
- Tidak adanya keberhasilan dalam melakukan usaha likuidasi dalam pihak swasta dan pemerintahan sebagai usaha mengawasi dan menghemat anggaran belanja.
Upaya perkembangan ekonomi masa demokrasi terpimpin bahkan mengalami
kegagalan akibat pemerintah melakukan pelaksanaan proyek mercusuar
sehingga setiap tahun membutuhkan biaya yang cukup besar. Tidak hanya
itu saja, pemerintah juga tidak memiliki kemampuan politik dalam menekan
pengeluaran yang terjadi. Dengan begitu akan mengakibatkan dampak harga
tinggi hampir mencapai 200 hingga 300% pada tahun 1965, masyarakat
mengalami kehidupan yang terjepit, lemahnya devisa yang berakibat pada
pembatasan impor dan kegiatan ekspor, laju inflasi tinggi, dan semakin
habisnya cadangan emas serta devisa negara
Perkembangan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
PERKEMBANGAN EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
Dalam
bidang ekonomi, Presiden Soekarno mempraktikkan sistem ekonomi terpimpin.
Presiden secara langsung terjun dan mengatur perekonomian. Pemusatan kegiatan
perekonomian pada satu tangan ini berakibat penurunan kegiatan perekonomian.
Dalam upaya meningkatkan aktivitas perekonomian Indonesia, pemerintah mengambil beberapa langkah yang dapat menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Lankah-langkah yang ditempuh pemerintah adalah sebagai berikut :
Dalam upaya meningkatkan aktivitas perekonomian Indonesia, pemerintah mengambil beberapa langkah yang dapat menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Lankah-langkah yang ditempuh pemerintah adalah sebagai berikut :
a) Devaluasi Mata Uang Rupiah
Sebagai
langkah pertama dalam usaha perbaikan keadaan ekonomi, maka pada tanggal 24
Agustus 1959 pemerintah mendevaluasi mata uang Rp 1.000,00 dan Rp 500,00
menjadi Rp 100,00 dn Rp 50,00. Mata uang pecahan seratus kebawah tidak
didavaluasi. Tujuan devaluasi ini adalah untuk meningkatkan nilai rupiah dan
rakyat kecil tidak dirugikan. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap
semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp 25.000,00. Namun demikian,
tindakan pemerintah itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi sehingga
gambaran ekonomi tetap suram.
b) Menekan Laju Inflasi
Dalam
upaya membendung inflasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 tahun 1959yang mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1959.
Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar agae
dapat memperbaiki kondisi keuangan dan perekonomian negara.
Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lain yang merupakan sumber-sumber penting penerimaan negara mengalami kemosrotan . hal ini berpengaruh terhadap merosotnya nilai mata uang rupiah. Akibatnya, pemerintah melakukan likuiditas terhadap semua sektor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menertibkan setiap kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya tidak dapat dikendalikan.
Sementara itu, sejak tahun 1961 Indonesia secara terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kalinya dalam sejarah keuangan, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisa, serta memperlihatkan saldo negatif sebesar 3 juta dollar AS. Walaupun demikian, aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia tidak diatur lagi oleh bangsa asing melainkan telah diatur oleh bangsa Indonesia sendiri.
Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lain yang merupakan sumber-sumber penting penerimaan negara mengalami kemosrotan . hal ini berpengaruh terhadap merosotnya nilai mata uang rupiah. Akibatnya, pemerintah melakukan likuiditas terhadap semua sektor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menertibkan setiap kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya tidak dapat dikendalikan.
Sementara itu, sejak tahun 1961 Indonesia secara terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kalinya dalam sejarah keuangan, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisa, serta memperlihatkan saldo negatif sebesar 3 juta dollar AS. Walaupun demikian, aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia tidak diatur lagi oleh bangsa asing melainkan telah diatur oleh bangsa Indonesia sendiri.
c) Melaksanakan Pembangunan Nasional
Untuk
melaksanakan pembangunan nasional, diperlukan modal dan tenaga ahli. Sementara
Indonesia tidak memiliki cukup modal dan tenaga ahli. Karena konfrontasi dengan
Malaysia dan memasuhi negara-negara Barat (Eropa Barat), maka bantuan modal dan
tenaga dari luar negeri sangat sulit diperoleh. Dengan demikian, pembangunan
yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan dengan mulus sehingga belum dapat
menaikkan taraf hidup rakyat.
Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta. Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin. Tujuan utama Deklarasi Ekonomi itu adalahuntuk menciptakan ekonomi nasioanal yang bersifat demokratis dan bebas dari imprealisme untuk mencapai kemajuan ekonomi. Mengingat tidak mudahnya untuk mendapatkan bantuan luar negeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Dekon itu kemudian disusul dengan 14 peraturan pelaksanaan pada tanggal 26 Mei 1963 yang lebih dikenal dengan Peraturan-peraturan 26 Mei . Deklarasi Ekonomi beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya ternyata tidak berhasil mengatasi kemerosotan ekonomi bahkan memperberat beban hidup rakyat karena indeks biaya hidup semakin meningkat, harga barang kebutuhan naik, dan juga laju inflasi sangat tinggi.
Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta. Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin. Tujuan utama Deklarasi Ekonomi itu adalahuntuk menciptakan ekonomi nasioanal yang bersifat demokratis dan bebas dari imprealisme untuk mencapai kemajuan ekonomi. Mengingat tidak mudahnya untuk mendapatkan bantuan luar negeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Dekon itu kemudian disusul dengan 14 peraturan pelaksanaan pada tanggal 26 Mei 1963 yang lebih dikenal dengan Peraturan-peraturan 26 Mei . Deklarasi Ekonomi beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya ternyata tidak berhasil mengatasi kemerosotan ekonomi bahkan memperberat beban hidup rakyat karena indeks biaya hidup semakin meningkat, harga barang kebutuhan naik, dan juga laju inflasi sangat tinggi.
Kegagalan itu disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :
• masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis.
• Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya.
• Tidak ada ukuran yang obyektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.
• Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.
UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGATASI KRISIS EKONOMI
UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGATASI KRISIS
EKONOMI
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga
tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan
tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki
kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Kebijakan ini adalah Pemotongan
nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke
atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri
Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950
berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp.
5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng
merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi
yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan
oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan
ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam
program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950.
Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa
Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini
tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin
besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi
salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952
sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya
sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan
bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan
ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen
yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa
nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai
pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No.
24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai
oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali
I). Tujuan dari program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali
digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi
diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada
tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan
baik sebab:
- Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
- Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
- Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada
masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan Finek, yang berisi:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya
pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil
langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari
keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya
Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT)
Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa
kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk
jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena:
- Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
- Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
- Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar
untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit
Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah
Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata
SISTEM EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
SISTEM EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Sistem Ekonomi Liberal
Sebagai
negara yang baru merdeka, kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat terbelakang.
Upaya mengadakan pembangunan ekonomi untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.
Terdapat empat faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat yaitu :
• Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan dengan adanya gerakan separatisme di berbagai daerah
• Terlalu sering berganti kabinet menyebabkan program-program kabinet yang telah dirancang tidak dapat dilaksanakan.
• Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
• Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memilki tenaga ahli dan dana yang diperlukan belum memadai.
Namun demikian, pemerintah telah mencoba upaya untuk memperbaiki ekonomi melalui langkah-langkah berikut ini :
a. Nasionalisasi De Javasche Bank
Dalam Keterangan Pemerintah tanggal 28 Mei 1951 di depan DPR, dikemukakan rencana Pemerintah mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1951, dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Tugas panitia tersebut adalah mengajukan usul mengenai nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, serta merencanakan undang-undang yang baru mengenai Bank Sentral. Kemudian pemerintah mengangkat Mr. Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bankberdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951. Sebelumnya, pemerintah telah memberhentikan Dr. Houwink (WN Belanda) sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 122 tanggal 12 Juli 1951.
Pada tanggal 15 Desember 1951, diumumkan UU No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. UU tersebut diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU No. 11 / 1953 dan Lembaran Negara No. 40.
Terdapat empat faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat yaitu :
• Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan dengan adanya gerakan separatisme di berbagai daerah
• Terlalu sering berganti kabinet menyebabkan program-program kabinet yang telah dirancang tidak dapat dilaksanakan.
• Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
• Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memilki tenaga ahli dan dana yang diperlukan belum memadai.
Namun demikian, pemerintah telah mencoba upaya untuk memperbaiki ekonomi melalui langkah-langkah berikut ini :
a. Nasionalisasi De Javasche Bank
Dalam Keterangan Pemerintah tanggal 28 Mei 1951 di depan DPR, dikemukakan rencana Pemerintah mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1951, dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Tugas panitia tersebut adalah mengajukan usul mengenai nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, serta merencanakan undang-undang yang baru mengenai Bank Sentral. Kemudian pemerintah mengangkat Mr. Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bankberdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951. Sebelumnya, pemerintah telah memberhentikan Dr. Houwink (WN Belanda) sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 122 tanggal 12 Juli 1951.
Pada tanggal 15 Desember 1951, diumumkan UU No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. UU tersebut diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU No. 11 / 1953 dan Lembaran Negara No. 40.
Dengan UU dan Lembaran Negara tersebut
dikeluarkan UU Pokok Bank Indonesia yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1953.
Dengan dikeluarkan UU Pokok Bank Indonesia itu, semakin kukuhlah Bank Indonesia
sebagai bank milik pemerintah RI.
b. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru
sehingga perlu mengubah struktur ekonomi dari sistem kolonial ke dalam sistem
ekonomi nasional. Sumitro mencoba memprektikan pemikiran itu pada sektor
perdagangan. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada para pengusaha
pribumi untuk berpartisipasi dalam membangun perekonomian nasional.
Program sistem ekonomi dari gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir, ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ekonomi Sumitro ini dikenal dengan Program Ekonomi Gerakan Benteng atau lebih populer dengan sebutan Program Benteng. Program Benteng dimulai pada bulan April 1950 dan berlangsung selama tiga tahun, yaitu pada tahun 1950 – 1953.
Akan tetapi, program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan. Ketidak-berhasilan itu disebabkan para pengusaha pribumi terlalu tergantung pada pemerintah. Mereka kurang bisa mandiri untuk mengembangkannya usahanya.
Ketika Mr. Iskaq Tjokroadisuryo menjabat sebagai Menteri Perekonomian di bawah Kabinet Ali, ia melanjutkan upaya-upaya untuk mengangkat peran para pengusaha pribumi. Belajar dari kegagalan sebelumnya, maka pada masa Kabinet Ali I dikeluarkan model baru yang dikenal dengan sebutan Sistem Ali-Baba, yakni kerja sama antar pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha nonpribumi (Baba). Ide ini pun mengalami kegagalan karena pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman dibandingkan pengusaha pribumi.
Program sistem ekonomi dari gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir, ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ekonomi Sumitro ini dikenal dengan Program Ekonomi Gerakan Benteng atau lebih populer dengan sebutan Program Benteng. Program Benteng dimulai pada bulan April 1950 dan berlangsung selama tiga tahun, yaitu pada tahun 1950 – 1953.
Akan tetapi, program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan. Ketidak-berhasilan itu disebabkan para pengusaha pribumi terlalu tergantung pada pemerintah. Mereka kurang bisa mandiri untuk mengembangkannya usahanya.
Ketika Mr. Iskaq Tjokroadisuryo menjabat sebagai Menteri Perekonomian di bawah Kabinet Ali, ia melanjutkan upaya-upaya untuk mengangkat peran para pengusaha pribumi. Belajar dari kegagalan sebelumnya, maka pada masa Kabinet Ali I dikeluarkan model baru yang dikenal dengan sebutan Sistem Ali-Baba, yakni kerja sama antar pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha nonpribumi (Baba). Ide ini pun mengalami kegagalan karena pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman dibandingkan pengusaha pribumi.
c. Gunting Syarifuddin
Gunting Syarifuddin dikeluarkan pada
tanggal 20 Maret 1950. Syarifuddin adalah seorang Menteri Keuangan pada saat
itu. Disebut Gunting Syarifuddin karena peraturan itu mengharuskan pemotongan
semua uang kertas yang bernilai Rp 2,50 ke atas menjadi dua sehingga nilainya
tinggal setengah. Melalui kebijakan itu, pemerintah berhasil mengumpulkan
pinjaman wajib dari rakyat sebesar Rp 1,6 Milyar. Disamping itu, pemerintah
juga mengurangi jumlah uang yang beredar.
Langganan:
Postingan (Atom)